Oleh: Wahyu Irvana

Komisariat IPNU-IPPNU di lembaga pendidikan menjadi ujung tombak rekruitmen kader pelajar NU dari jalan formal. Komisariat pelajar NU selain memiliki kader yang kontinu (sebab lembaga pendidikan akan merekrut pelajar baru setiap tahunnya), juga birokrasi yang tergolong mudah. Keputusan berkembang atau stagnan lebih ditentukan dari kunci kebijakan pimpinan lembaga pendidikan. Jika lembaga pendidikan kooperatif dan pro aktif untuk memajukan komisariat IPNU-IPPNU, nyaris permasalahan kekaderan dan program lingkup komisariat sudah selesai. Tinggal beberapa hal tentang adminisratif dan motivatif.
Komisariat pelajar NU adalah “koentji”. Dengan dukungan lembaga pendidikan atau pondok pesantren secara resmi, formal dan struktural, pelajar akan mendapatkan wadah langsung mengenal pengkaderan formal NU gerbang awal yakni IPNU-IPPNU. Contoh sederhananya, jika lembaga pendidikan atau pondok pesantren menggalakkan –bahkan mengharuskan– pelajarnya lulus MAKESTA untuk syarat tertentu, maka baik awalnya berangkat karena terpaksa atau sukacita, pelajar akan kenal dengan IPNU-IPPNU, apalagi kemudian kemasan dari pelatihan dan lembaga pendidikan berkolaborasi secara apik, bayangkan berapa calon penerus perjuangan NU yang bisa tercetak via metode ini.
Faktanya masih banyak lembaga pendidikan milik nahdliyyin yang “menunda” pendirian dan pengembangan komisariat pelajar NU ini. Ada beberapa alasan klasik atau pribadi untuk menggiring para pelajarnya ikut IPNU-IPPNU. Coba kita urai beberapa alasan –baik kekhawatiran maupun kebingungan– yang terjadi di lapangan.
Pertama kekhawatiran berbenturan dengan organisasi kesiswaan yang sudah lama ada di lembaga pendidikan. Kekhawatiran ini tentu dapat diantisipasi dengan kolaborasi dan pembagian fokus masing-masing organisasi. Misalnya biarkan OSIS menggarap bidang umum, sedang komisariat IPNU-IPPNU di bidang keagamaan. OSIS mensukseskan PHBN, komisariat pelajar NU di PHBI, sesederhana itu.
Kedua kekhawatiran akan birokrasi yang berbelit-belit yang nantinya ditakutkan malah menyulitkan lembaga pendidikan. Bagaimanapun struktur IPNU-IPPNU yang sudah rapi dari bawah hingga pusat bukan merupakan hambatan untuk melaksanakan kegiatan yang bermanfaat. Perlu diingat, secara umum di komisariat, persetujuan kegiatan ada di pimpinan lembaga pendidikan. Selebihnya dari tingkat atasnya, Pimpinan Anak Cabang, itu pun lebih banyak bersifat koordinasi dan komunikasi.
Ketiga kekhawatiran penempatan struktur komisariat pelajar NU. Pada dasarnya komisariat pelajar NU fleksibel sesuai kebutuhan lembaga pendidikan. Komisariat IPNU-IPPNU dapat menjadi organisasi utama, dapat menjadi organisasi ekstrakurikuler, bahkan dapat menjadi bagian dari organisasi utama di lembaga pendidikan (OSIS) dengan berfokus pada kegiatan keagamaan. Eksistensi komisariat pelajar NU sebagai basis dan aset berharga calon penerus perjuangan NU diutamakan, sehingga posisinya sesuai dengan kebutuhan lembaga pendidikan masing-masing.
Keempat kebingungan akan program yang akan dijalankan setelah komisariat IPNU-IPPNU didirikan. Program apapun asalkan bermanfaat dapat dilaksanakan oleh komisariat pelajar NU, apalagi yang berkenaan dengan keagamaan dan syiar Aswaja NU. Program dapat disusun sesuai kebutuhan lembaga pendidikan atau dapat berkoordinasi dengan tingkat atasnya, Pimpinan Anak Cabang atau jika diperlukan dapat ke level Pimpinan Cabang. Komisariat pelajar NU di lembaga pendidikan dapat memulai dengan kegiatan rutinan semacam khotmil Qur’an, barzanji atau diskusi Aswaja Ke-NU-an, banyak hal yang dapat dilakukan dengan permulaan sederhana, kemudian dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta PK IPNU-IPPNU itu sendiri.
Kelima kebingungan akan administrasi, koordinasi, komunikasi dan konsultasi. Untuk hal ini, lembaga pendidikan bisa langsung membuka komunikasi dengan siapa saja dari tingkatan atasnya. Kemudian akan diarahkan sesuai mekanisme yang berlaku di IPNU-IPPNU. Pengurus PAC maupun PC juga perlu pro aktif jemput bola untuk mendampingi komisariat-komisariat IPNU-IPPNU yang sudah berdiri. Komunikasi yang baik harus dibangun dengan berbagai sarana, misalnya kunjungan, kegiatan bersama atau kegiatan yang menyedot partisipasi dari anggota komisariat.
Banyak yang prihatin dengan karakter dan budaya pelajar masa kini, mulai dari kecanduan internet, pornografi, paparan radikalisme, kekerasan, bahkan Narkoba dan sebagainya. Banyak data yang disuguhkan dari hasil survei, Kementrian Kominfo melaporkan dari 80% sampel anak-anak dan remaja di Indonesia memiliki kecenderungan untuk muncul perilaku kecanduan internet. Namun, yang membuat miris dalam penelitian tersebut ditemukannya kelompok yang signifikan yaitu sebanyak 24% anak-anak dan remaja mengaku berhubungan dengan orang yang tidak dikenal melalui internet, 13% anak-anak dan remaja telah menjadi korban cyberbullying, dan 14% lainnya mengaku telah mengakses situs pornografi. Tentu kegiatan yang bermanfaat dan religius menjadi salah satu solusi penting dalam menjaga generasi kita ke depan.
Cukup membingungkan, jika dengan fakta-fakta gamblang tersebut kita masih biasa-biasa saja dan terus “menunda” optimalisasi komisariat pelajar NU. Pun menunda pelaksanaan empat pancang Aswaja NU di lembaga pendidikan: pengajian kitab Aswaja NU, praktik amaliyah Aswaja NU, materi pelajaran Aswaja Ke-NU-an dan pendirian komisariat IPNU-IPPNU. Semoga hati kita segera terbuka untuk mempersiapkan generasi yang akan meneruskan rantai perjuangan. Bagaimanapun mencegah lebih baik daripada mengobati.